CBDCs for Indonesia -2

Lessons from International Experiments

IBF Net Group
7 min readDec 20, 2022

Scroll down for Bahasa Indonesia Version

Global interest in CBDCs has steadily increased in recent times. Recent reports suggest that as many as 100-plus countries, are currently exploring a CBDC, up from just 35 countries two years back. How many of them like Indonesia are actively developing a national CBDC? How many are ahead of Indonesia? What can we learn from their experiences? Let us analyse some relevant data.

There are around ten countries that have fully launched their national digital currency. The list mostly includes small and very small economies, such as, the Marshall Islands, the eight countries in the Eastern Carribean, the Bahamas and Jamaica. It also includes Nigeria from the African continent. The Bahamas launched their sand-dollars in 2020. Nigeria, Africa’s largest economy, launched its CBDC e-Naira in 2021. Jamaica is the latest country to launch a CBDC, the JAM-DEX.

Around 15 countries have already undertaken pilot projects. The list includes heavyweights like China, Hong Kong, South Korea and Russia; Kazakhstan from Central Asia; Sweden, Lithuania and Ukraine from Europe; Saudi Arabia and UAE from the GCC; Thailand, Singapore and Malaysia from South and South East Asia.

Indonesia is in the league of another 25 countries that are developing a CBDC. This broad list includes Canada, EU, Australia, Brazil, India, Japan, Bahrain, Iran, Turkey. It also includes many small nations like Venezuela, Belize, Haiti, Mauritius, Palau, Cambodia etc.

Around 50 more countries are in research and exploration phase that includes USA and UK and many smaller countries dotted across the globe. A few countries like Denmark, Egypt, Azerbaijan and Argentina announced their interest in CBDCs, but are currently inactive. Two countries — Equador and Senegal — experimented, but went on to abandon the idea.

The term blockchain or distributed ledger technology (DLT) is invariably associated with cryptos or digital currencies and tokens. All countries where CBDCs have been launched with the exception of Jamaica use DLT alone. The Marshall Islands was the first to launch its digital currency using Algorand blockchain technology. Four countries in pilot phase (Sweden, South Korea, Saudi Arabia and UAE), and four in development phase (Brazil, Cambodia and Palau) also prefer blockchain or DL technology alone.

As many as fifteen countries including Indonesia see merit in both conventional (centralized) and DL technologies. This includes the Bahamas where CBDC is already launched, four countries in pilot phase (China, Russia, Kazakhstan, and Thailand) and ten countries in development phase (including India, Canada, UK, EU, Turkey and Bahrain)

Out of the five countries that tried with conventional technology alone, the only country where the project was launched and is currently operational is Jamaica. Projects became inactive in three other countries — Uruguay, Curacus and St Marten. Equador cancelled the project.

There have been interesting cases of international cooperation in the CBDC domain. Project DCash that involves the eight Eastern Carribean countries has already been launched. Project Digital Euro involves eight European countries and is in development phase. Project mCBDC Bridge involves China, Hongkong and Thailand and is in pilot stage. Project Aber involves Saudi Arabia and UAE in pilot stage. Project Dunbar involves Australia, Singapore, Malaysia in pilot stage and Australia in development stage.

What are the underlying reasons behind the increasing interest in CBDCs? Do these reasons differ across countries?

There are several compelling arguments and the motives that different nations have for creating CBDCs are dependent on the state of their economies. Increasing the efficiency of payments and reducing the costs of transactions; introducing competition and resilience in the domestic payments market, which might need incentives to provide cheaper and better access to money; promoting financial inclusion by making it simpler and safer for unbanked and underbanked populations to obtain financial services; creating programmable money and enhancing the transparency of monetary flows; and facilitating the smooth and unobstructed flow of money are some of the most common reasons for implementing such a system.

Are there significant risks with the shift to CBDCs? Do they vary across countries?

With CBDCs, there is a risk of individuals simultaneously withdrawing an excessive amount of money from banks, which might result in a run-on at the banks, leading to a reduction in banks’ capacity to lend. This presents an especially difficult challenge for nations whose financial systems are weak. CBDCs also provide operational risks because they are susceptible to cyber-attacks and need to be fortified against these threats in order to function effectively.

Last but not least, CBDCs require a regulatory structure that must first be strengthened before this technology can be adopted. This framework must include privacy, consumer protection, and anti-money laundering criteria. Before a country may begin implementing a CBDC, it is necessary for that nation to first address the many obstacles that must be overcome.

In the forthcoming posts, we look forward to taking a deep dive into a multitude of CBDC experiments and take stock of lessons, if any, for Indonesia.

By Dr. Mohammed Obaidullah, Chairman, IBF Net Group

Ketertarikan dunia terhadap CBDC meningkat dari waktu ke waktu. Laporan terkini menjelaskan bahwa ada lebih dari 100 negara sedang mempelajari CBDC, lebih banyak dari dua tahun sebelumnya yang hanya berkisar 35 negara. Ada berapa di antara mereka yang seperti Indonesia yang secara aktif mengembangkan CBDC nasionalnya? seberapa jauh mereka dari Indonesia? apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman mereka? Mari kita analisis beberapa data yang relevan.

Ada sekitar 10 negara yang sudah meluncurkan secara penuh mata uang digital mereka. Daftar ini mencakup negara kecil dan sistem ekonomi yang kecil juga, seperti Marshall Islands, delapan negara di Karibia Timur, Bahama dan Jamaika, termasuk juga Nigeria dari benua Afrika. Bahama sendiri telah meluncurkan Sand Dollar di tahun 2020. Selanjutnya, Nigeria, negara dengan ekonomi terbesar di Afrika meluncurkan CBDC yang bernama e-Naira di tahun 2021. Lalu menyusul Jamaika, negara terbaru yang meluncurkan CBDC yaitu JAM-DEX.

Saat ini ada 15 negara yang sudah meluncurkan pilot projectnya. Negara-negara besar tersebut adalah Tiongkok, Hongkong, Korea Selatan, Rusia, Kazakhstan dari Asia Tengah, Swedia, Lithuania dan Ukraina dari Eropa, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dari Timur Tengah, Thailand, Singapura dan Malaysia dari Asia Tenggara.

Indonesia pun termasuk dalam gabungan 25 negara lainnya yang sedang menggarap CBDC. Daftar ini mencakup Kanada, Uni Eropa, Australia, Brazil, India, Jepang, Bahrain, Iran, Turki, serta beberapa negara kecil seperti Venezuela, Belize, Haiti, Mauritius, Palau, Kamboja, dan lain-lain.

Ada sekitar 50 negara lagi yang masih dalam tahap riset dan pengembangan termasuk Amerika Serikat dan Inggris serta nergara lainnya. Negara-negara seperti Denmark, Mesir, Azerbaijan, dan Argentina mengumumkan ketertarikannya terhadap CBDC, tetapi tidak begitu aktif. Dua negara seperti Ekuador dan Senegal pun sudah mengujicobakan, tetapi tidak sesuai gagasannya.

Dalam perkembangan industri ini, istilah distributed ledger technology (DLT) selalu dikaitkan dengan kripto atau mata uang digital dan token. Semua negara tersebut sudah menggunakan CDBC namun Jamaika hanya menggunakan DLT saja. Sedangkan, dalam implementasinya Kepulauan Marshall merupakan yang pertama meluncurkan mata uang digital menggunakan teknologi Algorand. Empat negara dalam fase pilot project (Swedia, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab), dan empat negara dalam fase pengembangan (Brazil, Kamboja, dan Palau) juga memilih blockchain atau teknologi DL saja.

Secara umum, sebanyak 15 negara termasuk Indonesia melihat manfaat dan peluang ini tidak hanya secara konvensional (decentralized) namun juga dari sisi teknologi DL. Selain Indonesia, Bahama juga termasuk yang sudah meluncurkan CDBC, empat negara dalam fase pilot project (Tiongkok, Rusia, Kazakhstan dan Thailand), dan 10 negara dalam fase pengembangan (termasuk India, Kanada, Inggris, Uni Eropa, Turki dan Bahrain).

Dari lima negara yang telah melucurkannya dengan teknologi konvensional, hanya negara Jamaika yang masih beroperasional. Sedangkan, di tiga negara lainnya seperti Uruguay, Curacao, dan St.Marten proyek tersebut sudah tidak aktif lagi bahkan Ekuador membatalkan proyeknya.

Faktanya, banyak hal menarik yang terjadi pada kerjasama internasional terkait CBDC. Proyek DCash yang melibatkan delapan negara di Karibia Timur sudah diluncurkan. Proyek Digital Euro melbatkan delapan negara di Eropa sudah dalam fase pengembangan. Proyek mCDBC Bridge melibatkan Tiongkok, Hongkong dan Thailand sudah dalam fase pilot. Proyek Aber di Arab Saudi dan UAE sudah dalam fase pilot, serta proyek Dunbar di Australia, Singapura, dan Malaysia sudah mencapai fase pilot serta di Australia dalam tahap pengembangan.

Apa alasan yang mendasari peningkatan ketertarikan terhadap CDBC? Apakah alasan tersebut berbeda tiap negaranya?

Ada beberapa argumen menarik dan motif-motif berbeda yang membuat negara-negara membangun CDBC tergantung dari kemampuan ekonomi negaranya. Adapun beberapa motif tersebut, yaitu:

  • Meningkatkan efisiensi pembayaran dan menurunkan biaya transaksi;
  • Mengenalkan kompetisi dan ketangguhan pasar pembayaran domestik, yang memiliki kebutuhan insentif untuk menyediakan pembayaran yang lebih murah;
  • Kemudahan akses terhadap uang;
  • Mempromosikan inklusi finansial dengan membuatnya lebih sederhana dan lebih aman untuk kalangan masayarakat yang tidak terjangkau oleh perbankan. Sehingga, mereka mendapatkan layanan finansial;
  • Membuat uang yang dapat diatur serta meningkatkan transparansi dari aliran dana.
  • Memfasilitasi secara “halus” dan tidak terganggu atas aliran dana juga merupakan alasan umum untuk mengimplementasikan sistem tersebut.

Apakah ada resiko signifikan atas perpindahan ke CBDC? Apakah mereka berlaku lintas negara?

Melalui CDBC, ada resiko dari individu untuk menarik dana dalam jumlah besar dan terus menerus dari bank, yang mengakibatkan run-on pada bank, dan berakhir pada penurunan kapasitas dari bank untuk memberi pinjaman. Hal ini menjadi tantangan sulit untuk negara yang memiliki sistem ekonomi lemah. CBDC juga memiliki resiko operasional karena bisa mengalami serangan cyber-attack dan harus diperkuat agar bisa berjalan efektif.

Terakhir, CBDC membutuhkan struktur regulator yang harus diperkuat sejak awal sebelum teknologi ini diadopsi. Kerangkanya harus memuat privasi, keamanan konsumen, dan kriteria anti pencucian uang. Sebelum sebuah negara mulai mengimplementasikan CDBC, penting untuk negara tersebut bersiap dari resiko yang akan datang.

Di post selanjutnya, kami akan membawa anda lebih dalam ke banyak eksperimen CBDC dan mengambil beberapa pelajaran untuk dipahami di Indonesia.

--

--

IBF Net Group

Leveraging Research and Technology for a Halal Ecosystem